Kamar
tidur Een Sukaesih (48) selalu ramai dengan kehadiran anak-anak. Sambil
membawa buku dan alat-alat tulis, mereka berkumpul di sebuah kamar
sederhana berukuran sekitar 3x2 meter. Dalam suasana santai, anak-anak itu
mendengarkan penjelasan Een. Beberapa anak tampak menulis di lembar
tugasnya, dan seorang anak menulis di papan tulis. Pemandangan tersebut
biasa terjadi setelah jam pulang sekolah.
Een dengan sabar menerangkan berbagai materi pelajaran sekolah dan menjawab sejumah pertanyaan yang sesekali terlontar dari anak-anak. Semua itu dilakukannya sambil berbaring, di atas tempat tidur. Bukan karena malas, ia berbaring. Hal tersebut ‘terpaksa’ dilakukan karena tubuhnya memang sudah tidak mampu lagi duduk dengan tegak, apalagi untuk berdiri.
Perempuan lulusan IKIP Bandung ini sudah dua puluh empat tahun mengalami lumpuh total. Penyakit radang sendi rheumathoid arthitis
telah melumpuhkan hampir seluruh persendian tubuhnya. Terutama tangan
dan kaki, sehingga tidak lagi bisa digerakkan. Namun begitu, semangatnya
tidak pernah ikut lumpuh.
Sejak
lumpuh total pada tahun 1987, ia tidak pernah berhenti memberikan
bimbingan pelajaran pada anak-anak. Dengan fasilitas yang sederhana, Een
terus berbagi ilmu pada anak-anak di sekitar tempat tinggalnya secara
ikhlas tanpa menerima imbalan.
Een
menekankan prinsip hidupnya dari sebuah hadist, bahwa sebaik-baiknya
manusia adalah yang bermanfaat bagi sesamanya. Prinsip yang ia terapkan
dengan mengabdikan diri untuk membimbing anak-anak di lingkungan sekitar
tempat tinggalnya di Desa Cibereum Wetan, Kecamatan Cimalaka, Sumedang.
“Dengan
bersama anak-anak ini saya merasa bisa sedikit memberi manfaat. Minimal
saya bisa memanfaatkan waktu saya untuk berbagi ilmu, berbagi kasih
sayang dengan mereka. Meskipun tidak teralu banyak,” tutur Een rendah
hati. Ia pun lebih suka kegiatan yang dilakukannya ini disebut sebagai
‘berbagi ilmu’, ketimbang sebagai ‘mengajar’.
Atas
dedikasinya, pada tahun 2010 lalu Een menerima beberapa penghargaan. Di
antaranya Dompet Dhuafa Award 2010 untuk kategori pendidikan, Education
Award dari Bank Syariah Mandiri (BSM), serta penghargaan dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.
Positif Rheumathoid Arthritis
Een
tidak pernah mengira bahwa hidupnya harus dilewatkan dengan berbaring
di atas tempat tidur. Cita-citanya adalah menjadi guru. Saat lulus
sekolah menengah pertama, ia mantap melanjutkan pendidikannya ke Sekolah
Pendidikan Guru (SPG). Awalnya semua berjalan baik. Sampai suatu saat
ia mulai sering mengalami nyeri sendi di bagian tangan.
Ia
datang ke dokter untuk berobat. “Dokter bilang ini rematik,” ujarnya.
Begitu obatnya habis, rasa nyeri kambuh lagi. Lalu ia datang kembali ke
dokter dan diberi obat yang sama. Namun, setelah sekian kali
mengkonsumsi obat kondisinya tidak menunjukan perbaikan. Rasa nyeri
justru menyebar ke bagian yang lain. Tidak hanya tangan, tetapi juga
lutut, siku, tengkuk, hingga ke persendian yang kecil-kecil.
Jari-jarinya menjadi bengak biru kemerahan.
“Saya merasa sakitnya makin parah. Setelah itu saya ganti dokter karena obat yang diberikan kok itu-itu aja. Saya berpikir mungkin ada obat lain,” ungkapnya. Ketika itu kedua tangannya masih bisa memegang benda. Walau sudah tidak kuat memegang yang berat-berat karena akan terasa nyeri.
Setelah
pindah dokter, ia mulai mengkonsumsi berbagai macam obat. Tapi tetap
tidak menunjukan perbaikan. Setiap selesai satu resep, sakitnya malah
bertambah parah. Saking nyeri dan tidak kuat menahan beban, tangan Een
pun sempat disangga menggunakan kain yang diikat ke pundak, seperti
orang patah tulang.
Terakhir
ia diberi obat yang dosisnya paling keras, yang diminum 3x2 sehari.
“Tapi dokter bilang untuk dikurangi sendiri dosisnya. Karena kalau
diminum terus menerus akan ada efek samping pada lambung,” jelas Een.
Ketika
ia coba berhenti minum obat, justru kondisinya semakin parah. “Saya
tidak bisa bangun, tidak bisa jalan, gak bisa gerak, terasa sakit bukan
main seperti ditusuk-tusuk,” ungkapnya.
Dokter
kemudian mengarahkan untuk melakukan tes laboraturium. Dokter memberi
rujukan ke salah satu klinik lab di Bandung. Setelah dilakukan tes, pada
5 april 1982 baru kemudian diketahui bahwa dirinya positif menderita rheumathoid artitis. Sebuah penyakit yang begitu asing di telinganya.
“Dokter
bilang itu jenis rematik terganas dan belum ditemukan obatnya. Dan obat
yang dapat dokter berikan selama ini cuma penghilang rasa sakit. Bukan
untuk menyembuhkan,” terangnya.
Informasi
itu diterima ketika ia telah duduk di bangku kelas 3, menjelang ujian
semester akhir sekolah. “Perasaan saya sangat sedih saat itu. Di usia
yang masih remaja, sekitar 18 tahun saya, sudah sakit seperti itu,”
lanjutnya.
Berjuang Menghadapi Sakit Sambil Kuliah
Rencana
melanjutkan kuliah pun sempat disingkirkan setelah mengetahui bahwa
dirinya mengidap penyakit yang belum ada obatnya. Toh pendidikan di SPG
sudah cukup untuk membuatnya menjadi guru. Begitulah yang disampaikan
neneknya pada Een.
Namun
menjelang kelulusan sekolah, wali kelas ‘memaksa’ Een untuk mengikuti
tes seleksi penerimaan mahasiswa baru. Padahal saat itu ia sudah
mengatakan tidak akan melanjutkan kuliah. “Waktu itu wali kelas bilang,
kalau saya tidak ikut Sipenmaru maka tidak akan diberikan ijazahnya,”
ujar Een. Maksudnya, karena ingin mengetahui sejauh mana kemampuan saya.
Setelah
ikut tes seleksi, ternyata hasilnya lulus. Een pun diterima di Program
Diploma 3 Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan IKIP Bandung. Ia
sengja memilih jenjang D3 karena pertimbangan kondisi kesehatannya. Jika
mengambil S1 dikhawtirkan akan berat.
Selama
kuliah ia terus mencari berbagai informasi mengenai penyakitnya.
Keinginannya untuk sembuh masih sangat kuat, berbagai upaya dia lakukan.
Ia pun mendatangi beberapa dokter di Bandung. Meski jawaban yang
diterima selalu sama, bahwa rheumatoid arthritis belum ditemukan obatnya.
“Saya
juga pernah berkirim surat ke salah satu dokter spesialis penyakit
dalam di RSCM yang kebetulan suka muncul di TVRI saat itu. Namun
jawabannya tetap sama, belum ada obatnya,” ungkap Een.
Bukan
hal mudah bagi Een menjalani kuliah dengan kondisi tubuh yang sakit. Ia
harus menahan nyeri saat berjalan kaki, saat menaiki tangga menuju
ruang kelas, atau ketika harus ke perpustakaan yang lokasinya cukup
jauh.
“Karena
berjalan kaki dari kos ke kampus, saya harus berangkat kuliah lebih
awal dibanding yang lain. Saat naik tangga, kalau sakit saya
berhenti-berhenti dulu. Tapi alhamdulillah, saya masih bisa ngetik
sendiri. Tidak pernah meminta tolong orang kalau ada tugas,” tuturnya.
Semuanya
ia dijalani dengan sabar dan rasa optimis untuk sembuh. Baginya,
pantang berputus asa terhadap pertolongan Tuhan. “Dari segi psikologis
sedihnya bukan main, harus kuliah dengan keadaan seperti ini. Tapi saya
tetap optimis dan berusaha. Saya punya keyakinan bahwa penentu segala
sesuatu adalah Allah swt, dan yang bisa menyembuhkan juga Allah,”
ungkapnya.
Beruntung ia memiliki seorang sahabat, Mimin Suhaeti, yang selalu setia mendukungnya. Menemaninya di kampus, mengantar ke dokter, meski kost mereka berjauhan. “Kalau saya mulai menurunkan dosis obat, dia suka menginap. Karena dia khawatir. Dia tau kalau saya diturunkan dosisnya, saya suka sakit. Dia begitu sabar menunggu saya,” kenang Een.
Een
lulus dari IKIP tahun 1985 dengan nilai yang cukup baik. Satu tahun
setelah lulus, ia diangkat untuk mengajar di SMA Sindang Laut Cirebon. Namun, cuaca panas di kota itu membuat penyakitnya cepat bertambah parah.
“Saya merasa tidak kuat di udara panas. Bagi saya yang menderita rheumatoid, kondisi saya jadi semakin parah,” tuturnya.
Belum sempat pra jabatan, sakitnya semakin parah. Baru satu bulan di sana, akhirnya ia memutuskan pulang ke Sumedang. “Begitu turun
dari mobil saya jatuh, tidak kuat berdiri. Terus dibopong di bawa
kerumah. Sejak itu sudah tidak bisa berjalan lagi,” kenangnya.
Semenjak
lumpuh total, dirinya hanya bisa berbaring di tempat tidur. Punggungnya
mulai lecet-lecet dan berdarah karena terlalu lama berbaring. Dia harus
berganti perban dan diberi obet lagi setiap 6 hari.
“Lecet
itu cukup parah sampai urat-urat itu ada yang keluar. Dan yang sanggup
menggunting itu adik, yang lain tidak berani,” katanya. Hampir satu
tahun ia harus menahan nyeri karena lecet, sampai kemudian luka itu
perlahan sembuh.
Akhir tahun 1987 ia sempat divonis tidak akan berumur panjang. Ketika itu Een merasakan sakit di perut yang sangat hebat. Setelah diperiksa, dokter dirinya terkena infeksi usus karena terlalu banyak mengkonsumsi obat dengan dosis tinggi. "Dokter mengatakan pada ibu dan nenek saya bahwa hidup saya tidak akan lama lagi," katanya.
“Tidak
akan bertahan lebih dari seminggu. Begitu kata dokter pada nenek dan
ibu saya. Awalnya saya tidak tahu. Setelah lewat seminggu, nenek baru
cerita pada saya. Pantas, semejak pulang dari dokter itu mereka berdua
sering menangis,” tambah Een.
Ia
hampir kehilangan semangat dan berpikir tidak ingin berobat lagi. Tapi
kemudian kondisinya perlahan membaik. Vonis dokter juga tidak terbukti.
“Saya amat bersyukur, ternyata saat itu kondisi saya membaik dan masih
dipercaya hidup hingga saat ini,” ujarnya.
Episode Baru Bersama Anak-anak
Een
berusaha menerima penyakitnya dengan ikhlas, sambil terus berdoa agar
diberi kesembuhan. Ia kemudian mulai berpikir apa yang bisa dirinya
lakukan dengan kondisi fisik yang lumpuh seperti itu. Sementara Ia sama
sekali tidak ingin melewatkan waktu hanya tidur dan tidak melakukan
apa-apa.
Hari-harinya
di pembaringan mulai terobati dengan kehadiran anak-anak dari
kerabatnya yang sering bermain di rumah. Mereka menitipkan anak-anaknya
untuk belajar bersama Een di rumah. “Dulu sebelum sakit, memang sudah
banyak anak-anak kesini. Anak-anaknya saudara, dua tiga orang. Sampai
sekarang jadi banyak,” tuturnya.
Keinginannya
untuk mengajar, perlahan terwujud dengan semakin banyaknya anak yang
datang ke rumah. Seorang keponakan Een yang sering mengerjakan PR di
rumahnya, mulai mengajak teman-temannya untuk belajar bersama.
“Dia
datang kalau ada PR. Di sekolah ia suka mengatakan kalau PRnya sudah
selesai dikerjakan di rumah teh Een. Kemudian beberapa temannya ingin
ikut mengerjakan PR di sini.
Keinginan
dirinya untuk berbagi ilmu pun dimulai. Dengan fasilitas seadanya, Een
membimbing anak-anak itu mengerjakan tugas dan PR dari sekolah. Saat itu
belum ada papan tulis kapur, apalagi white board.
Anak-anak
biasa menggunakan dinding kamar Een sebagai pengganti papan tulis.
Berbagai sisi dinding kamar pun penuh dengan coretan dan tulisan
anak-anak. Setiap selesai menulis, dinding kemudian dibersihkan dengan
lap basah. Begitu seterusnya hingga cat dindingnya habis dan tidak bisa
ditulisi lagi. “Sudah habis di dinding, lalu pindah ke bupet (lemari
kayu),” kenang Een sambil tertawa.
Seorang
tetangga lalu menawarkan memberi papan tulis. Setiap selesai belajar,
papan tulis itu dicuci dan dijemur untuk belajar hari berikutnya. Semua
dilakukan oleh anak-anak. Tidak lama kemudian Bupati datang menjenguk
lalu lalu memberi bantuan papan tulis. Selain itu, ia juga mendapat
bantuan kamus dan buku-buku dari Jamsostek.
Kehadiran
anak-anak seolah menjadi episode baru dalam hidupnya. Keceriaan
anak-anak menjadi penghibur baginya. Anak-anak yang datang awalnya hanya
dari lingkungan sekitar RT yang bersekolah dekat tempat tinggalnya.
Kemudian datang anak-anak dari lokasi tempat tinggal dan sekolah yang
lebih jauh.
“Setiap
hari dikunjungi anak-anak, waktu jadi tidak terasa. Anak-anak jadi
penghibur. Pernah saat saya sakit dada dan sakit menarik nafas, datang
anak-anak mau belajar. Tapi saya tidak bilang kalau saya sakit. Setelah
itu justru sakitnya hilang,” tuturnya.
Een
menyadari perkembangan pendidikan yang berlangsung selama ini. Jika ada
soal atau materi pelajaran yang kurang dikuasai, Een juga tidak segan
bertanya pada teman-temannya yang sudah menjadi guru ataupun dosen. Ia
biasa bertanya lewat sms atau telfon.
Salah
satu teman yang dijadikan tempat bertanya adalah Prof. Dr. H. Dasim
Budimansyah, yang kini adalah guru besar di UPI Bandung. Prof. Dasim
merupakan kawan Een ketika di SPG dan IKIP.
Beban
materi pelajaran sekolah yang semakin banyak dan berat. Karena itu ia
juga berusaha untuk memperbaharui pengetahuannya. Sesekali ia meminta
bantuan pada teman atau kerabatnya untuk dicarikan buku, maupun
dibelikan surat kabar. Berhubung Een tidak bisa memegang sendiri
buku-buku atau koran, ia selalu minta dibacakan oleh anak-anak atau
kerabatnya.
Een
tidak pernah kehilangan akal dalam mengatasi keterbatasan fisiknya.
Meski ia mengaku kesulitan untuk menyampaikan sesuatu yang harus
dijelaskan dengan gambar, tulisan atau gerakan. Karena itu, dalam
mengajar kadang ia dibantu oleh kerabatnya yang tinggal di dekat rumah.
Pernah
suatu saat ada anak yang sedang belajar menulis. Anak itu bertanya,
huruf L besar seperti apa. Karena Een tidak bisa menuliskan di papan
tulis, maka ia menjelaskan bentuk huruf itu dengan kata-kata. Namun, si
anak ternyata salah tangkap sehingga menimbulkan kelucuan. “Saya
menjelaskan, tapi anak menangkapnya beda. Jadi nggak nyambung,” tutur
Een sambil tertawa.
Jumlah anak yang belajar bersama Een kini sudah sekitar 30 orang, baik SD
maupun SMP. Rata-rata mereka kebetulan berprestasi baik di sekolah. Ada
yang juara kelas serta 10 besar di sekolahnya. Di antara mereka juga
banyak yang mengikuti berbagai lomba bidang studi mulai dari tingkat
kecamatan hingga kabupaten.
Kebahagiaan baginya, setiap kali
mendengar anak-anak yang belajar bersamanya meraih prestasi. “Dari
sejak anak bisa menjawab ulangan harian dengan baik, saya sudah
alhamdulillah. Ada kepuasan tersendiri rasanya. Meskipun ini bukan hanya
hasil kerja saya saja,” tutur Een dengan rendah hati.
Mengajar anak-anak juga menjadi tantangan
tersendiri baginya. Di samping harus mampu menjawab
pertanyaan-pertanyaan seputar materi pelajaran sekolah. Juga harus mampu
menjelaskan dan menjawab pertanyaan kritis yang terlontar dari
anak-anak, terutama yang mulai remaja.
Menurut
Een kecerdasan intelektual harus diimbangi dengan kecerdasan emosi dan
spiritual. Ia sering kali menyelipkan pendidikan budi pekerti dan akhlak
pada anak. Karena baginya, semua yang dilakukan adalah bagian dari
ibadah.
Sumber : http://cangkirparagraf.blogspot.com