Senin, 14 September 2015

Anak Penderita Dyslexia Adalah Anak Dengan Kecerdasan Tinggi



Masa awal belajar di sekolah dasar merupakan saat menyiksa bagi Aigis Arira. Gadis itu kesulitan membedakan huruf ”b” dan ”d”. Kedua huruf itu sering terbalik di dalam benaknya. Pekerjaan menyalin pun sering salah walaupun Aigis sudah duduk di bangku paling depan.


Suatu kali hendak menggambar kubus, hasilnya malah trapesium,” ujar Aigis, seorang penyandang disleksia, saat berbagi kisah dalam acara ”Menuju Layanan Pendidikan Prima untuk Melindungi Seluruh Anak Indonesia”, beberapa waktu lalu.
Aigis kini terdaftar sebagai mahasiswi di sebuah perguruan tinggi swasta di Bandung. Hasil sebuah perjalanan panjang. Di dunia pendidikan yang didominasi keterampilan membaca, menulis, dan berhitung, Aigis harus bekerja keras.

Disleksia berasal dari bahasa Yunani, yakni dys (kesulitan) dan lexia (kata-kata), untuk menyebut gangguan yang memengaruhi pengembangan keterampilan literasi dan bahasa. Orang dengan disleksia mengalami masalah belajar spesifik, terutama terkait kata-kata.
Di dalam pikiran Aigis, misalnya, huruf-huruf dalam tulisan bercampur aduk dan tidak beraturan sehingga sulit dibaca dan diingat.

IntelegensiaTinggi
Dokter spesialis anak-konsultan saraf anak, Purboyo Solek, mengatakan, anak disleksia berpotensi besar. Anak dengan disleksia memiliki intelegensia di atas rata-rata hingga tinggi. Hal itu yang membedakan anak dengan kesulitan belajar spesifik seperti disleksia dengan kesulitan belajar umumnya. ”Berbeda dengan anak dengan kesulitan belajar yang tingkat intelegensianya di bawah normal, seperti epilepsi lena atipikal, hiperaktif, down syndrom, dan sejumlah kasus autis. Disleksia sering kali dicampuradukkan dengan gangguan belajar lainnya,” ujar Purboyo.

Sederet nama tokoh terkenal dan berpengaruh, seperti Albert Einstein (ilmuwan), Tom Cruise (artis), Orlando Bloom (artis), Whoopi Goldberg (artis), dan Lee Kuan Yew (mantan Perdana Menteri Singapura), tercatat menderita disleksia.
Riyani T Bondan, Ketua Asosiasi Disleksia Indonesia, mengungkapkan, di dunia, 10 hingga 15 persen anak sekolah menyandang disleksia. Dengan jumlah anak sekolah di Indonesia sekitar 50 juta, diperkirakan 5 juta di antaranya mengalami disleksia. ”Tanpa penanganan tepat, negara rugi lantaran orang yang sebetulnya intelegensinya tinggi jadi kesulitan mengembangkan potensinya,” ujarnya.


Berbasis neurologis
Ketua Pelaksana Harian Asosiasi Disleksia Indonesia sekaligus dokter spesialis anak, Kristiantini Dewi, mengungkapkan, disleksia bukan disebabkan kebodohan, cara mengajar tidak baik, latar belakang ekonomi buruk, kurangnya motivasi atau gangguan lain, seperti penglihatan atau pendengaran. Disleksia berbasis neurologis. Otak individu disleksia mempunyai cara berbeda dalam mengolah informasi terkait kata-kata. Cara mereka membaca ”tidak sama” dengan otak individu yang tidak disleksia.
Namun, ada sisi positifnya. Mereka mempunyai kemampuan atau keterampilan di area belajar lain yang jauh di atas rata-rata. Mereka unggul dalam kemampuan visual spatial, analisis masalah yang mendalam, kesadaran sosial, penyelesaian masalah, geometri, catur, atau permainan di komputer. ”Kemampuan ini jangan sampai disia-siakan,” ujarnya.

Kristiani menjelaskan, ada dua tipe disleksia, yaitu developmental dyslexia yang merupakan bawaan sejak lahir. Tipe lainnya ialah acquired dyslexia yang didapat karena gangguan perubahan cara otak kiri membaca. Penderita biasanya mengalami kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan otak kiri.

Developmental dyslexia disandang seumur hidup dengan kondisi berbasis neurologis dan sering kali bersifat genetik. Berkisar 70-75 persen disleksia adalah genetik. Sejumlah hasil penelitian, antara lain, Brain abnormalities underlying altered activation in dyslexia: a voxel based morphometry study yang dimuat dalam Journal of Neurology, Brain, mengasosiasikan disleksia dengan disfungsi pada daerah abu-abu di otak. Terjadi perubahan aktivasi dalam sistem membaca terkait dengan perubahan kepadatan dari materi abu-abu dan putih pada daerah tertentu otak. Disfungsi di bagian bermateri abu-abu itu terkait dengan perubahan konektivitas di antara area fonologis (membaca).
Kristiantini menyebutkan ada beberapa tanda awal disleksia bawaan. Tanda-tanda itu, antara lain, telat berbicara. Pada umur dua tahun, misalnya, anak baru dapat mengucapkan satu atau dua patah kata. Anak juga sering bingung atau tertukar antara kiri dan kanan. Gejala lainnya ialah artikulasi tidak jelas dan terbalik-balik. ”Kata kulkas, misalnya menjadi kalkus,” ujar Kristiantini.

Beranjak di usia sekolah, kesulitan makin dirasakan lantaran anak mulai dituntut membaca, menulis, dan berhitung. Anak kesulitan mempelajari huruf, baik bentuk maupun bunyinya. Beberapa huruf sering kali tertukar, seperti ”b” dan ”d”, ”h” dan ”a”, serta ”t” dan ”j”. ”Pada awal anak belajar membaca, huruf tertukar kadang terjadi. Namun, pada anak dengan disleksia, kesulitan itu terus berlanjut,” ujarnya. Anak dengan disleksia juga kesulitan menggabungkan huruf menjadi kata, kesulitan membaca, kesulitan memegang alat tulis dengan baik, dan kesulitan dalam rima.

Pertanda lainnya ialah bingung konsep ruang dan waktu serta kesulitan mencerna serta mengikuti beberapa instruksi yang disampaikan secara verbal, cepat, dan berurutan. ”Jika ada tiga perintah yang diucapkan secara cepat, kemungkinan hanya perintah terakhir yang diingat,” ujarnya.

Gangguan itu sering ditemukan bersama dengan gangguan pemusatan perhatian atau konsentrasi, kesulitan matematika dan keterampilan motorik, seperti masih tumpah ketika menyendok makanan walaupun sudah di kelas I atau II sekolah dasar.

Menurut Kristiantini, identifikasi disleksia sebaiknya sedari dini sehingga anak dapat dilatih cara belajar yang tepat dan sesuai kebutuhannya. Jika terlambat, prestasi akademis terus turun, anak kesulitan dalam ujian, mendapat stigma negatif, diganggu (bullying), serta kesulitan dalam kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan membaca dan menulis.

Orangtua Aigis yang menyadari kondisi khusus putrinya lalu memindahkan Aigis ke sekolah khusus, SD Pantara. Di sekolah khusus itu, Aigis belajar dengan dukungan dan pemahaman penuh terhadap kebutuhan khususnya.

Setelah itu, dia melanjutkan ke SMP negeri, SMK negeri jurusan rekayasa perangkat lunak, dan kini belajar di sebuah perguruan tinggi swasta untuk menjadi programmer komputer. Aigis yakin impiannya menjadi programmer kelak dapat diraih.

sumber:http://acaciagrove.multiply.com/journal/item/40&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem
Read more »

Selasa, 08 September 2015

KERAS VS TANGGUH

RENUNGAN BAGI KITA YANG MASIH PERCAYA BAHWA ANAK/MURID ITU PERLU DIKERASI UNTUK BISA MENJADI LEBIH BAIK.



Para orang tua dan guru yg bijaksana,

TAFT (TANGGUH) DAN KERAS dalam mendidik adalah dua hal yg berbeda.

Taft/Tangguh atau dalam bahasa Inggrisnya Tough adalah mendidik anak untuk bisa memiliki daya juang, sementara keras adalah lawan kata dari lembut. Kita bisa mendidik anak untuk memiliki daya juang yg tinggi tanpa harus dengan cara kekerasan atau hukuman. Anak yg taft atau memiliki daya juang tinggi adalah anak yg pantang menyerah tapi bukan tidak mau kalah.

Begitu yg pernah di ucapkan oleh Mendiang Winston Churcil dalam Pidatonya di hadapan 5000 wisudawan Oxford University. Orang yg Taft adalah orang yg NEVER...NEVER AND NEVER GIVE UP !!!. Winston Churcil meskipun ia adalah salah satu contoh orang yg sangat Taft membela negaranya dari Gempuran NAZI Jerman pada perang dunia II, namun ia memiliki pribadi yg sangat lembut.
Kembali lagi pada Doa untuk puteraku, ini adalah sebuah doa yg mencerminkan upaya lahir bathin dari orang tua yg TAFT/Tangguh untuk bisa mendidik anaknya menjadi anak yg Tangguh juga, yakni anak yg memiliki DAYA JUANG tinggi dan PANTANG MENYERAH.

Namun sayangnya yg sering kali terjadi pada sistem pendidikan dan pola asuh orang tua adalah menyamakan arti TAFT dengan Keras. Sehingga cara2 yg di pilih menggunakan kata2 yang keras, suara yg keras dan hukuman yg keras baik fisik atau non fisik.

Pernah ada guru yg bercerita menghukum muridnya yg terlambat datang dengan berdiri di depan kelas selama pelajaran berlangsung. Ada juga guru yang memukul dengan Mistar untuk muridnya yang tidak bisa menjawab soal-soal pelajaran.

Niat sang guru memang baik, agar anak tidak lagi mengulangi perbuatannya, tapi caranya yg tidak tepat.
Coba perhatikan...., anak yg telat datang pasti punya masalah....bisa berbagai kemungkinan masalah yg dialami si anak..., mungkini rumahnya jauh, kendaraannya mogok, telat bangun karena membantu orang tuanya buat kue hingga larut atau kemungkinan karena kurang suka dengan pelajaran dan gurunya yg kurang ramah dan lain sebagainya....

Tugas guru sebenarnya adalah bukan untuk MENGHUKUM, melainkan MENOLONG si anak agar esok tidak telat lagi.. karena semua masalah anak itu mayoritas berasal dari kesalahan pola asuh orang tuanya dirumah.

Caranya adalah dengan melakukan proses telusur.. apa yg menjadi penyebab pastinya. Kerena penyebab telat bagi anak A mungkin tidak sama dengan penyebab telat dengan anak B.

Setelah di ketahui pasti penyebabnya coba anak di ajak dialog kira2 apa yg bisa dilakukan bersama2 antara guru, anak dan orang tua bekerjasama agar anak tersebut tidak telat lagi datang ke sekolah. Hingga jika perlu membicarakan tentang konsekuensi yg di sepakati bersama. Itu yang selama ini kami lakukan di sekolah kami. "MENOLONG ANAK UNTUK BERHENTI BERPERILAKU BURUK DAN MAU BERBUAT BAIKI".

Namun sayangnya banyak pendidik yg tidak melakukan hal ini, dan lebih memilih jalan pintas dengan cara menghukum dan strap berdiri di depan kelas, atau di berikan tugas dsb, Hukuman atau tugas sering kali sama sekali tidak nyambung dengan masalahnya juga sama sekali tidak memberikan solusi bagi si anak.

Hingga akhirnya dengan hukuman tadi anak menjadi TAKUT bukannya SADAR bahwa ia harus datang tepat waktu.

Maka jadilah anak2 tersebut terdidik menjadi generasi yg HANYA TAAT JIKA ADA YG MENGAWASI... karena TAKUT TERKENA SANGSI.

Contoh yg paling mudah kita temukan adalah di lampu merah...., orang2 melanggar lampu merah jika tidak ada yg mengawasi dan bukan menyadari bahwa jika lampu berwarna merah artinya harus berhenti dan menunggu giliran jalan saat lampu hijau.

Begitu pula dengan meng korup uang Rakyat dan Negara..., selama tidak ada yg mengawasi ya sikat saja... begitu pikirnya, karena begitu pulalah pola didik dan asuh yg di terimanya dulu semasa anak2 dan bersekolah.

Apakah anak2 kita kelak menjadi anak yg TAFT/TANGGUH atau KERAS kita semualah (orang tua + guru) yg memutuskan melalui cara mendidik kita dirumah dan di sekolah.

Apakah anak2 kita kelak akan menjadi anak yg TAAT hanya jika ada yg MENGAWASI atau Sadar untuk berbuat semestinya, kita jugalah yg memutuskan melalu cara mendidik kita di rumah dan di sekolah.

Mengutip ucapan pak Munif Chatib:
" Sesungguhnya Orang tua dan guru memiliki kemampuan yg luar biasa untuk MEMBANGUN ATAU MALAH MENGHANCURKAN KARAKTER ANAK2 BANGSA"

Termasuk orang tua dan guru yg manakah kita...?
Mari kita renungkan....

Oleh : Ayah Edy
Read more »

SEBUAH RENUNGAN BAGI YANG HATINYA MASIH DILIPUTI RASA MARAH,KEBENCIAN DAN DENDAM


(Jika dirasa bermanfaat maka sebarkanlah kepada siapa saja yang membutuhkannya)
Suatu hari kami berkesempatan berbincang2 dengan Sang Guru Compassion, di acara talkshow penutup kami di Radio Smart fm.
Sambil menunggu waktu kami duduk bersebelahan agar saya bisa belajar dari Sang Guru mumpung beliau ada disini.
Kebetulan kami berdua saat itu menghadap televisi yang sedang menyiarkan berita demi berita nasional yang provokatif dan menimbulkan kebencian.
Lalu saya mulai terpancing untuk mengomentari tayangan demi tayangan yang disajikan yang isinya tentang hujat menghujat dan perbuatan yang tidak pantas dilakukan.
Mulailah sy terpancing emosi dan mengeluarkan komentar-komentar pedas, lalu saya mencoba menengok pada wajah teduh sang Guru dan menanyakan apa komentar beliau menanggapi isu ini.
Beliau hanya tersenyum..., dengan wajah damainya beliau hanya berkata, “ Ya..., ini semua sudah sempurna sebagaimana adanya.”
Lalu muncul berita berikutnya yang tak kalah hebohnya, kembali saya terpancing lagi untuk memberikan komentar pedas setengah menghujat.
Ketika saya menengok padanya, beliau kembali tersenyum dengan wajah tenangnya berkata pelan; “ Tidak apa, tidak ada yang salah, semua ini sudah sempurna seperti apa adanya.”
Berkali-kali mendapat jawaban yang sama dan tidak memuaskan hati saya, karena beliau tidak ikut berkomentar sebagai mana pada umumnya orang segera ikutan berkomentar pedas seperti saya, maka saya yang awam ini jadi penasaran, apa sih maksudnya ? keadaan yang seperti ini kok dibilang sudah sempurna ?
Bertanyalah saya pada Sang Guru, apa maksud dari kata2 beliau tadi;
Lalu dengan wajah teduh dan damainya beliau mulai membuka kata demi kata;
"Ya kesempurnaan itu terjadi apa bisa ada dualitas ada keduanya; ada siang dan ada malam, ada hitam dan ada putih, ada api dan ada air, ada sehat dan ada sakit, ada kuat ada lemah, ada lapar ada juga kenyang, ada kita di sini dan ada mereka di sana"
“Mana yang lebih baik Api atau Air ?” beliau tiba2 bertanya pada saya.
Lalu saya berkata; “Tentu saja menurut saya air lebih baik dari pada api, air menyejukkan mendinginkan.”
"Nah disitulah apa bila kita belum memahami arti dari dualitas”.
”Ambil contoh Air, air itu dibutuhkan ketika api ada, Menyejukan itu dibutuhkan ketika ada panas, nah apakah orang2 di kutub utara lebih menyukai air yang dingin atau api yang hangat?.”
”Begitu pula malam datang meneduhkan dan mendinginkan bumi dan siang datang untuk menghidupkan bumi dengan panasnya matahari, Kebaikan itu baru kelihatan jika ada kejahatan. Seperti polisi juga dibutuhkan jika ada penjahat., KPK eksis karena ada para koruptor dst.”
“Itulah artinya semuanya sudah sempurna berada pada perannya masing2, tinggal kita sebagai manusia yang diberi kuasa oleh Tuhan untuk MEMILIH PERAN, maka silahkan tentukan kita mau mengambil peran apa dan peran yang mana?; apakah peran Api atau air, peran jahat atau baik.?”
"Justru jika tidak ada salah satunya maka peran lawannya menjadi tidak lagi dibutuhkan dan berguna.”
Lalu saya bertanya lagi “ lalu bagaimana jika peran kejahatan ternyata jauh lebih banyak dari peran kebaikan, orang jahat jadi lebih banyak dari orang baik?”
“Ya tentu saja jika itu terjadi kita harus segera menambah jumlah dan kualitas orang2 yang memainkan peran kebaikan.”
“Nah begitulah juga peran anda dan kita disini, kita ada karena ada mereka disana yang merupakan kebalikan dari peran kita bukan? “
“Semakin banyak peran yang bukan kita maka semakin dibutuhkanlah keberadaan kita”
“Itulah mengapa kita tidak perlu lagi menghujat dan marah pada mereka tapi bersyukur, karena merekalah maka peran kita menjadi begitu berarti di tengah orang banyak.”
"Jadi barhentilah menghujat, tapi belajarlah MELAMPAUI dualitas tadi."
Sadarilah sebenarnya jauh lebih mudah mengambil peran sebagai kita yang ada disini (sebagai orang baik) ketimbang mereka yang sedang memainkan peran mereka disana lho.. (melihat dan menunjuk ke televisi)
Maksudnya seperti apa ? tanya saya lagi
”Oh Iya dengan memainkan peran kita ini kan, kita cenderung menjadi orang yang lebih banyak menuai pujian, meskipun akan selalu ada sekali2 cemoohan (kembali lagi itulah dualitas); tapi coba bayangkan jika kitalah yang sedang menjalankan peran mereka disana ?"
”Jadi bagaimana agar saya bisa menuju kesana, menjadi lebih memahami dualitas kehidupan ini ?” Tanya saya pada sang Guru.
”Jika kita ingin melampaui dualitas, baik dan buruk dan tidak ingin lagi sering menghujat orang lain, maka belajarlah merasakan lapar sebelum merasakan kenyang, belajarlah di hujat sebelum di puji, cintailah siang jangan membenci malam, pahamilah dan terimalah peran mereka masing2 sebagaimana kita menerima peran kita sendiri.”
”Karena sesungguhnya mereka adalah guru-guru bagi kita yang sedang mengajarkan kita untuk bisa merasakan apa arti dihujat, apa arti bersabar, ya memahami kehidupan ini secara utuh bukan hanya separonya saja.”
”Ingat sering2 lah melatih diri dan belajar dan merasakan menjadi orang yang di hujat dan di cemooh agar kamu bisa tidak ikut-ikutan menghujat."
" Persis sebagaimana para guru besar dunia dari timur dulu, bagaimana para guru ini di hujat tanpa balas menghujat, dihina tanpa balik menghina, diludahi tanpa balik meludahi, dibilang gila tanpa harus membalas memaki, di tampar pipi kirinya diberikan pipi kanannya, hingga pada akhirnya para guru ini mamahami apa hakekat hidup yang sesungguhnya. ”
"Orang yang sudah memahami betul apa hakekat dari kehidupan ini akan segera berhenti menghujat orang lain atau apapun."
"Lalu bagaimana caranya ?" tanya saya pada sang guru.
” Caranya bisa bermacam-macam, tapi yang paling mudah cobalah melontarkan sesuatu yang memungkinkan orang lain untuk menghujatmu, menghakimi mu, tapi sadarilah bahwa ini bukanlah dirimu yang sesungguhnya, melainkan hanya bersandiwara untuk melatih diri melepaskan dari penghakiman karena dualitas kehidupan ini.” Jawab sang guru dengan lembut.
"Belajarlah merasakan dihujat sebelum kita menghujat orang lain, belajarlah merasakan dihina sebelum kita menghina orang lain. Jika kita sudah pernah merasakannya maka niscaya kita tidak akan mau melakukannya."
”Setelah itu apa yang dilakukan ? bagaimana kita bisa kuat menghadapi cemoohan, hinaan, hujatan dan hal-hal yang tidak biasa kita terima ?” tanya saya lagi pada Guru.
Sejenak beliau mulai terdiam, Jika kamu sedang di hujat dan dihina maka "lakukan seperti ini"
"Atur nafas... rileks... rileks...dan semakin rileks, lalu bayangkan kamu sedang di hakimi dan....terima....terima....terima... karena dengan menerima ia akan berproses dari klimaks menuju anti klimaks
....rasakan...rasakan...rasakan.. karena dengan merasakan kamu akan mengerti berada di posisi ini
.... lepaskan..lepaskan...lepaskan..” karena dengan melepaskan semua perasaan yang menyakitkan akan pergi "
”Lakukan ini berulang-ulang hingga kamu terbiasa..“ dan semua perasaan negatif itu lepas dan sirna satu demi satu."
"Wah... sepertinya sulit betul ya, untuk bisa menjadi teduh, damai dan bijaksana seperti guru ?" , kata saya.
”Pada awalnya mungkin terasa sulit tapi jika sudah di latih dan di latih lagi maka lama kelamaan akan menjadi lebih mudah karena terbiasa."
"Persis seperti anak bayi yang belajar berjalan, awalnya sulit namun sekali ia sudah bisa dan terbiasa, akan menjadi sangat mudah."
"Jadi latihlah dirimu dan sering2lah merasakan atau berada di posisi lawan dari peranmu yg sekarang ini, agar kita benar2 terlatih untuk tidak lagi mudah terpancing dan terusik oleh isu apapun dan ikut2an menghakimi orang lain. Melainkan MEMPERKUAT PERANMU SENDIRI untuk menjadi apa, siapa dan melakukan apa di bumi ini"
"Apakah kita ingin menjadi orang yang merusak atau memperbaiki hidup dan kehidupan ini itu adalah pilihan kita sendiri berikut konsekuensinya masing-masing".
”Jika kamu bisa melakukan itu secara spontan, maka damailah di hati dan damailah di bumi.” Beliau menyudahi penuturannya.
Ya Tuhan... mendengarkan penuturan ini rasanya diri saya masih terasa jauh sekali dari samudera keteduhan batin dan jiwa, rupanya saya masih harus mendaki jauh sekali menuju ke puncak kebijaksanaan tertinggi sebagaimana yang dituturkan Sang Guru Compassion.
Semoga Tuhan membimbing setiap langkah ku untuk mendaki satu demi satu anak tangga pelajaran menuju tataran Guru Compassion yang berhati teduh dan damai.
Read more »