Rabu, 06 Juni 2012

Guru, Antara Profesi dan Panggilan Jiwa

Berbicara tentang Guru adalah topik yang takkan pernah habis untuk dibacarakan. Kisah perjalanan profesi guru terus berjalan seiring berjalannya waku. Pasang surut terus terjadi dari masa ke masa. Dulu profesi guru bukanlah jenis pekerjaan yang disukai dan diminati banyak orang. Untuk menjadi seorang guru orang tersebut harus benar-benar bermental baja, siap berkorban, punya kesabaran yang tinggi dan harus siap diupah dengan bayaran yang rendah atau bahkan bagi guru non formal kadang kala harus menunggu uluran tangan orang tua anak didiknya karena ia tak pernah menetapkan tarif bayaran untuk anak didiknya. 
Kalau bukan karena panggilan jiwa, sepertinya sangat sulit bagi seseorang untuk memilih guru menjadi profesinya. Mungkin kisah yang diangkat dalam film Laskar pelangi sudah cukup memberi kita gambaran bagaimana perjuangan menjadi seorang guru dimasa lalu dan mungkin saja saat di sebagian daerah terpencil. Mulai fasilitas belajar mengajar yang tidak memadai hingga sang guru yang jarang menerima gaji. Namun berbagai kendala tersebut tak pernah menyurutkan sang guru untuk terus mendidik anak negeri untuk menggapai mimpi dan mengharumkan nama ibu pertiwi. Walaupun ada sebagian yang memilih profesi guru karena suatu keterpaksaan dan hanya agar tidak disebut pengangguran.
Meskipun profesi guru saat itu bukanlah suatu pekerjaan yang banyak diminati, tapi itu tidak dengan serta merta menjadikan status guru rendah ditengah masyarakat. Bahkan justru sebaliknya, guru adalah sosok yang berwibawa dihormati dan disegani dalam masyarakat. Apalagi dihadapan anak didiknya guru adalah figur yang selalu menjadi tauladan dan ikutan bagi mereka.
Budaya cium tangan, ramah dan santun saat berhadapan dengan guru adalah hal yang selalu ditunjukkan oleh mereka. Walaupun kadang-kadang tak jarang sang guru memukul anak didiknya karena suatu kasalahan, itupun tak membuat mereka mengurangi rasa hormat dan cinta kepada sang guru. Apalagi orang tua anak didik tak pernah merasa marah ketika anaknya dipukul atau dihukum oleh sang guru. Sebab mereka yakin bahwa apa yang dilakukan sang guru bukan karena benci tapi demi kemaslahatan si anak didik sendiri. Guru pada masa lalu selalu menbangun hubungan yang sangat baik dengan anak didiknya. Karena mengajar pada dasarnya adalah membangun hubungan batin antara guru dengan anak didiknya. Sehingga perhatian seorang guru tidak saja terbatas pada hal-hal yang menyangkut dengan pelajaran yang diajarkan semata, tapi juga mencakup hal-hal yang berkaitan dengan mental, budi pekerti dan keluhuran jiwa si anak didik. Sehingga akan melahirkan anak didik yang berpengetahuan tinggi dan berbudi pekerti yang mulia.                
Profesi Guru masa kini
Guru di era sekarang ini bukan hanya sebagai  tenaga Pendidik, tapi juga sebagai telah menjadi salah satu profesi yang Undang-undangnya diatur tersendiri oleh Pemerintah di dalam Undang-undang Guru dan Dosen yang bertujuan untuk lebih mensejahterakan dan mensejajarkan para guru dengan jenis propesi lainnya dengan diadakannya Sertifikasi guru. Bagi guru atau dosen yang telah mendapat sertifikat profesi maka mereka akan mendata tunjangan satu kali gaji pokok setiap bulannya. Sehingga dari sisi materi para guru dan dosen sudah tersejahterkan.
Sebagaimana telang disinggung bahwa beberapa tahun sebelum adanya program sertifikasi guru, menjadi seorang guru bukanlah pilihan yang utama. Banyak orang yang menjadi guru karena terpaksa, daripada menganggur atau tidak punya pekerjaan tetap. Bukan karena panggilan jiwa, untuk mengabdikan diri demi kemajuan dunia Pendidikan. Guru, dikacamata mereka tak lebih sebagai seorang guru yang tugasnya mengajar dengan penghasilannya yang kecil. Begitupula, para lulusan sekolah lebih senang memilih masuk ke fakultas kedokteran, tehnik, ekonomi, Kehutanan, ataupun pertanian ketimbang fakultas Keguruan. Inilah salah satu faktor menyebabkan kenapa kualitas guru kita memprihatinkan. Lulusan-lulusan sekolah menengah atas yang pintar dan cerdas telah tersaring terlebih dahulu ke fakultas-fakultas tersebut. Tinggallah sisa-sisanya yang memiliki IQ rendah yang masuk ke fakultas keguruan.
Namun, sejak Pemerintah memberlakukan Program sertifikasi Guru dan Dosen semua persepsi itu berubah. Setiap Jurusan dan Program Studi Fakultas keguruan penuh dan menjadi favorit. Sementara fakultas kehutanan, pertanian, dan lainnya sepi peminat. Begitupula didaerah-daerah, banyak lulusan Sarjana bukan keguruan mengajar disekolah-sekolah sebagai tenaga honorer. Notabenenya, mereka yang tidak memegang Akta IV atau ijazah guru, bukanlah untuk dipersiapkan sebagai guru. Sehingga mereka tidak mampu mengajar dengan optimal. Sementara seorang guru yang memang dicetak sebagai guru di Fakultas keguruan, juga perlu waktu dan proses yang lama menjadikan dirinya sebagai guru yang profesional. Menumbuhkan rasa tanggung jawab yang tinggi dan nurani seorang guru, yang ingin memajukan dunia pendidikan indonesia. Sebagai guru, bukan hanya sebagai pekerjaan tapi juga merupakan panggilan jiwa. Sehingga guru hanya fokus sebagai tenaga pengajar dan pendidik yang profesional.
Dulu masih banyak guru yang mencukupi kebutuhan keluarga dengan cara nyambi sebagai tukang ojek, penjaga malam diperumahan. Dan ada juga guru yang bertugas dikampung-kampung, hilang dari tempat tugas mereka nyambi sebagai pekerja ditempat lain. Namun sejak adanya program sertifikasi guru, guru lebih fokus pada profesi mereka dan tidak ada alasan lagi buat mereka untuk bekerja disektor lain dengan alasan memenuhi kebutuhan hidup.
Dari pemaparan diatas bahwa ada beberapa faktor mengapa orang memilih profesi menjadi guru. Bagi sebagian orang menjadi guru adalah pilihan terakhir namun bagi sebagian lain profesi guru adalah profesi menantang sekaligus panggilan jiwa. Profesi guru dianggap pilihan terakhir manakala tidak ada pekerjaan lain yang bisa didapatkan sesuai harapan dan setelah lelah mencari lowongan kerja di sana sini akhirnya mereka memutuskan melamar menjadi guru. Dan seperti biasa, melamar kerja sebagai guru untuk sekolah-sekolah atau madrasah-madrasah tertentu yang relatif memang membutuhkan guru bukan lah sebuah prosesi yang begitu sukar di negara kita ini. Tinggal memasukkan lamaran, berbincang sebentar dengan kepala sekolah/madrasah atau wakil yang membidangi bagian kurikulum dan pengajaran, menunggu panggilan bahkan tidak perlu ada tes atau wawancara segala macam jadi lah. Kadang bahkan di beberapa sekolah/madrasah saking kurangnya tenaga guru yang ada tidak lagi mempertimbangan persoalan kualifikasi dan kemampuan akademis serta kompetensi ini itu di calon guru bersangkutan, selama orang tersebut mau mengajar (sekaligus mau dibayar murah) maka jadi lah ia guru. Karenanya wajar jika melihat mutu sebuah sekolah atau madrasah menjadi seadanya bahkan tampak memprihatinkan salahsatunya juga dikarenakan sumber daya pendidik atau tenaga guru nya juga terbatas. Terbatas jumlah, terbatas kemampuan dan terbatas idealisme.
Banyak yang menganggap bahwa untuk menjadi seorang guru hanyalah kompetensi saja yang dibutuhkan. Lebih dari itu, ternyata ada syarat mutlak dari profesionalisme guru yang dibutuhkan, yaitu Panggilan jiwa yang merupakan suatu bentuk keikhlasan untuk mentransfer pengetahuan dengan tendensi merasa dibutuhkan dan panggilan jiwa ini tumbuh karena kesadaran diri untuk memperbaiki kondisi yang kurang maksimal.
Jika menjadi guru adalah panggilan jiwa maka yang terjadi ialah profesi guru dihayati sedemikian rupa, dinikmati dengan segenap semangat pengabdian dan prestasi serta sanggup mengalahkan godaan-godaan profesi lain yang secara materi lebih menjanjikan. Seorang guru harus mau berfikir bagaimana seharusnya sistem pendidikan dibangun dan dikembangkan. Kalau diperlukan siap mengabdikan dirinya menjadi guru di daerah terpencil dan mampu berprestasi baik secara akademis maupun materi.
Seorang tokoh Indonesia Bernama Anis Baswedan telah meluncurkan sebuah program yang bernama Gerakan Indonesia Mengajar. Sebuah gerakan yang diinspirasi oleh janji kemerdekaan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, dengan misi mengirim putra putri terbaik Indonesia ke berbagai pelosok Indonesia untuk mengajar di sekolah-sekolah yang kekurangan guru. Terlepas adanya pro dan kontra dari program tersebut,kita patut  mengapresiasi gerakan ini dan berharap banyak dari sini akan bermunculan gerakan-gerakan serupa dari para tokoh nasional yang mungkin tergerak hatinya melihat kondisi dunia pendidikan yang masih belum beranjak dari garis keprihatinan mutu. pengalaman pak Anis Baswedan bahwa menjadi guru di daerah terpencil diharapkan akan menumbuhkembangkan rasa kecintaan tanah air dan persaudaraan, bahwa nun jauh di sana masih sangat banyak adik-adik mereka yang perlu sentuhan motivasi dan semangat belajar bersekolah serta untuk berani bermimpi dan bercita-cita tinggi.
Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut
-          Bagi guru yang mengajar dengan panggilan jiwa tugas mengajar menjadi suatu kesenangan. Bagi profesi mengajar menjadi suatu beban/kewajiban.
-          Guru yang mengajar dengan panggilan jiwa akan sabar mengajar anak didik sampai anak didik benar-benar bisa
-          Guru profesi akan memilih jam terbang sebanyak-banyaknya demi bayaran.
-          Guru Panggilan jiwa jam mencari jam terbang banyak untuk menyebarkan ilmu sebanyak-banyaknya dan tanpa pamrih.
-          Guru profesi memilih-milih anak didik.
-          Guru panggilan jiwa menyampaikan ilmu kepada siapa saja dan dimana saja.
-          Guru profesi hanya berusaha menghabiskan kurikulum atau Silabus yan telah ditetapkan. Tanpa  mau tahu apakah si anak didik sudah mampu menyerap apa yang diajarkan. 
Penutup
Demikianlah, menjadi guru pada prinsipnya harus merupakan pilihan sadar dan panggilan nurani. Menjadi guru harusnya merupakan cerminan idealisme kita dan keberpihakan kita terhadap kemanusiaan. Menjadi guru berarti mengabdikan segenap jiwa raga dan kemampuan terbaik kita untuk menciptakan generasi masa depan yang jauh lebih bermartabat, demi Indonesia yang lebih baik. Menjadi guru berarti siap menjadi tauladan, tidak harus selalu dan tidak semata-mata soal kepintaran belaka melainkan yang terpenting menjalankan tugas sebagai uswatun hasanah di mata anak didik dan masyarakat. Kesejahteraan adalah nomor kesekian dari daftar urutan pertimbangan menjadi guru. Jika prestasi sudah ditorehkan, jika program perbaikan moral dan peningkatan kecerdasan peserta didik telah diraih, maka dengan sendirinya kesejahteraan atau imbalam materi menjadi sesuatu yang sangat wajar diberikan, namun sekali lagi dalam konteks pengabdian kemanusiaan itu bukanlah target dan tujuan utama.



** Penulis adalah Dosen Fakultas Syari`ah IAIN Ar Raniry Banda Aceh
 (Fakhrurrazi Muhammad Yunus, MA)

0 komentar:

Posting Komentar