Jumat, 24 Mei 2013

Berbagi Ilmu dan Kasih Sayang Dari Atas Pembaringan


Kamar tidur Een Sukaesih (48) selalu ramai dengan kehadiran anak-anak. Sambil membawa buku dan alat-alat tulis, mereka berkumpul di sebuah kamar sederhana berukuran sekitar 3x2 meter. Dalam suasana santai, anak-anak itu mendengarkan penjelasan Een. Beberapa anak tampak menulis di lembar tugasnya, dan seorang anak menulis di papan tulis. Pemandangan tersebut biasa terjadi setelah jam pulang sekolah. 

Een dengan sabar menerangkan berbagai materi pelajaran sekolah dan menjawab sejumah pertanyaan yang sesekali terlontar dari anak-anak. Semua itu dilakukannya sambil berbaring, di atas tempat tidur. Bukan karena malas, ia berbaring. Hal tersebut ‘terpaksa’ dilakukan karena tubuhnya memang sudah tidak mampu lagi duduk dengan tegak, apalagi untuk berdiri.

Perempuan lulusan IKIP Bandung ini sudah dua puluh empat tahun mengalami lumpuh total. Penyakit radang sendi rheumathoid arthitis  telah melumpuhkan hampir seluruh persendian tubuhnya. Terutama tangan dan kaki, sehingga tidak lagi bisa digerakkan. Namun begitu, semangatnya tidak pernah ikut lumpuh. 
Sejak lumpuh total pada tahun 1987, ia tidak pernah berhenti memberikan bimbingan pelajaran pada anak-anak. Dengan fasilitas yang sederhana, Een terus berbagi ilmu pada anak-anak di sekitar tempat tinggalnya secara ikhlas tanpa menerima imbalan.   
Een menekankan prinsip hidupnya dari sebuah hadist, bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi sesamanya. Prinsip yang ia terapkan dengan mengabdikan diri untuk membimbing anak-anak di lingkungan sekitar tempat tinggalnya di Desa Cibereum Wetan, Kecamatan Cimalaka, Sumedang.  
“Dengan bersama anak-anak ini saya merasa bisa sedikit memberi manfaat. Minimal saya bisa memanfaatkan waktu saya untuk berbagi ilmu, berbagi kasih sayang dengan mereka. Meskipun tidak teralu banyak,” tutur Een rendah hati. Ia pun lebih suka kegiatan yang dilakukannya ini disebut sebagai ‘berbagi ilmu’, ketimbang sebagai ‘mengajar’. 
Atas dedikasinya, pada tahun 2010 lalu Een menerima beberapa penghargaan. Di antaranya Dompet Dhuafa Award 2010 untuk kategori pendidikan, Education Award dari Bank Syariah Mandiri (BSM), serta penghargaan dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.

Positif Rheumathoid Arthritis
Een tidak pernah mengira bahwa hidupnya harus dilewatkan dengan berbaring di atas tempat tidur. Cita-citanya adalah menjadi guru. Saat lulus sekolah menengah pertama, ia mantap melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Awalnya semua berjalan baik. Sampai suatu saat ia mulai sering mengalami nyeri sendi di bagian tangan.
Ia datang ke dokter untuk berobat. “Dokter bilang ini rematik,” ujarnya. Begitu obatnya habis, rasa nyeri kambuh lagi. Lalu ia datang kembali ke dokter dan diberi obat yang sama. Namun, setelah sekian kali mengkonsumsi obat kondisinya tidak menunjukan perbaikan. Rasa nyeri justru menyebar ke bagian yang lain. Tidak hanya tangan, tetapi juga lutut, siku, tengkuk, hingga ke persendian yang kecil-kecil. Jari-jarinya menjadi bengak biru kemerahan. 



“Saya merasa sakitnya makin parah. Setelah itu saya ganti dokter karena obat yang diberikan kok itu-itu aja. Saya berpikir mungkin ada obat lain,” ungkapnya. Ketika itu kedua tangannya masih bisa memegang benda. Walau sudah tidak kuat memegang yang berat-berat karena akan terasa nyeri. 
Setelah pindah dokter, ia mulai mengkonsumsi berbagai macam obat. Tapi tetap tidak menunjukan perbaikan. Setiap selesai satu resep, sakitnya malah bertambah parah. Saking nyeri dan tidak kuat menahan beban, tangan Een pun sempat disangga menggunakan kain yang diikat ke pundak, seperti orang patah tulang.
Terakhir ia diberi obat yang dosisnya paling keras, yang diminum 3x2 sehari. “Tapi dokter bilang untuk dikurangi sendiri dosisnya. Karena kalau diminum terus menerus akan ada efek samping pada lambung,” jelas Een.  
Ketika ia coba berhenti minum obat, justru kondisinya semakin parah. “Saya tidak bisa bangun, tidak bisa jalan, gak bisa gerak, terasa sakit bukan main seperti ditusuk-tusuk,” ungkapnya.
Dokter kemudian mengarahkan untuk melakukan tes laboraturium. Dokter memberi rujukan ke salah satu klinik lab di Bandung. Setelah dilakukan tes, pada 5 april 1982 baru kemudian diketahui bahwa dirinya positif menderita rheumathoid artitis. Sebuah penyakit yang begitu asing di telinganya. 
“Dokter bilang itu jenis rematik terganas dan belum ditemukan obatnya. Dan obat yang dapat dokter berikan selama ini cuma penghilang rasa sakit. Bukan untuk menyembuhkan,” terangnya.
 Informasi itu diterima ketika ia telah duduk di bangku kelas 3, menjelang ujian semester akhir sekolah. “Perasaan saya sangat sedih saat itu. Di usia yang masih remaja, sekitar 18 tahun saya, sudah sakit seperti itu,” lanjutnya. 

Berjuang Menghadapi Sakit Sambil Kuliah
Rencana melanjutkan kuliah pun sempat disingkirkan setelah mengetahui bahwa dirinya mengidap penyakit yang belum ada obatnya. Toh pendidikan di SPG sudah cukup untuk membuatnya menjadi guru. Begitulah yang disampaikan neneknya pada Een. 
Namun menjelang kelulusan sekolah, wali kelas ‘memaksa’ Een untuk mengikuti tes seleksi penerimaan mahasiswa baru. Padahal saat itu ia sudah mengatakan tidak akan melanjutkan kuliah. “Waktu itu wali kelas bilang, kalau saya tidak ikut Sipenmaru maka tidak akan diberikan ijazahnya,” ujar Een. Maksudnya, karena ingin mengetahui sejauh mana kemampuan saya.
Setelah ikut tes seleksi, ternyata hasilnya lulus. Een pun diterima di Program Diploma 3 Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan IKIP Bandung. Ia sengja memilih jenjang D3 karena pertimbangan kondisi kesehatannya. Jika mengambil S1 dikhawtirkan akan berat.
Selama kuliah ia terus mencari berbagai informasi mengenai penyakitnya. Keinginannya untuk sembuh masih sangat kuat, berbagai upaya dia lakukan. Ia pun mendatangi beberapa dokter di Bandung. Meski jawaban yang diterima selalu sama, bahwa rheumatoid arthritis belum ditemukan obatnya.
“Saya juga pernah berkirim surat ke salah satu dokter spesialis penyakit dalam di RSCM yang  kebetulan suka muncul di TVRI saat itu. Namun jawabannya tetap sama, belum ada obatnya,” ungkap Een.  
Bukan hal mudah bagi Een menjalani kuliah dengan kondisi tubuh yang sakit. Ia harus menahan nyeri saat berjalan kaki, saat menaiki tangga menuju ruang kelas, atau ketika harus ke perpustakaan yang lokasinya cukup jauh. 
“Karena berjalan kaki dari kos ke kampus, saya harus berangkat kuliah lebih awal dibanding yang lain. Saat naik tangga, kalau sakit saya berhenti-berhenti dulu. Tapi alhamdulillah, saya masih bisa ngetik sendiri. Tidak pernah meminta tolong orang kalau ada tugas,” tuturnya.
Semuanya ia dijalani dengan sabar dan rasa optimis untuk sembuh. Baginya, pantang berputus asa terhadap pertolongan Tuhan.  “Dari segi psikologis sedihnya bukan main, harus kuliah dengan keadaan seperti ini. Tapi saya tetap optimis dan berusaha. Saya punya keyakinan bahwa penentu segala sesuatu adalah Allah swt, dan yang bisa menyembuhkan juga Allah,” ungkapnya.

Beruntung ia memiliki seorang sahabat, Mimin Suhaeti, yang selalu setia mendukungnya. Menemaninya di kampus, mengantar ke dokter, meski kost mereka berjauhan. “Kalau saya mulai menurunkan dosis obat, dia suka menginap. Karena dia khawatir. Dia tau kalau saya diturunkan dosisnya, saya suka sakit. Dia begitu sabar menunggu saya,” kenang Een. 
Een lulus dari IKIP tahun 1985 dengan nilai yang cukup baik. Satu tahun setelah lulus, ia diangkat untuk mengajar di SMA Sindang Laut Cirebon. Namun, cuaca panas di kota itu membuat penyakitnya cepat bertambah parah.
“Saya merasa tidak kuat di udara panas. Bagi saya yang menderita rheumatoid, kondisi saya jadi semakin parah,” tuturnya.  
Belum sempat pra jabatan, sakitnya semakin parah. Baru satu bulan di sana, akhirnya ia memutuskan pulang ke Sumedang. “Begitu turun dari mobil saya jatuh, tidak kuat berdiri. Terus dibopong di bawa kerumah. Sejak itu sudah tidak bisa berjalan lagi,” kenangnya.
Semenjak lumpuh total, dirinya hanya bisa berbaring di tempat tidur. Punggungnya mulai lecet-lecet dan berdarah karena terlalu lama berbaring. Dia harus berganti perban dan diberi obet lagi setiap 6 hari.
“Lecet itu cukup parah sampai urat-urat itu ada yang keluar. Dan yang sanggup menggunting itu adik, yang lain tidak berani,” katanya. Hampir satu tahun ia harus menahan nyeri karena lecet, sampai kemudian luka itu perlahan sembuh.
Akhir tahun 1987 ia sempat divonis tidak akan berumur panjang. Ketika itu Een merasakan sakit di perut yang sangat hebat. Setelah diperiksa, dokter dirinya terkena infeksi usus karena terlalu banyak mengkonsumsi obat dengan dosis tinggi. "Dokter mengatakan pada ibu dan nenek saya bahwa hidup saya tidak akan lama lagi," katanya.
“Tidak akan bertahan lebih dari seminggu. Begitu kata dokter pada nenek dan ibu saya. Awalnya saya tidak tahu. Setelah lewat seminggu, nenek baru cerita pada saya. Pantas, semejak pulang dari dokter itu mereka berdua sering menangis,” tambah Een.
Ia hampir kehilangan semangat dan berpikir tidak ingin berobat lagi. Tapi kemudian kondisinya perlahan membaik. Vonis dokter juga tidak terbukti. “Saya amat bersyukur, ternyata saat itu kondisi saya membaik dan masih dipercaya hidup hingga saat ini,” ujarnya. 

Episode Baru Bersama Anak-anak
Een berusaha menerima penyakitnya dengan ikhlas, sambil terus berdoa agar diberi kesembuhan. Ia kemudian mulai berpikir apa yang bisa dirinya lakukan dengan kondisi fisik yang lumpuh seperti itu. Sementara Ia sama sekali tidak ingin melewatkan waktu hanya tidur dan tidak melakukan apa-apa.  
Hari-harinya di pembaringan mulai terobati dengan kehadiran anak-anak dari kerabatnya yang sering bermain di rumah. Mereka menitipkan anak-anaknya untuk belajar bersama Een di rumah. “Dulu sebelum sakit, memang sudah banyak anak-anak kesini. Anak-anaknya saudara, dua tiga orang. Sampai sekarang jadi banyak,” tuturnya. 
Keinginannya untuk mengajar, perlahan terwujud dengan semakin banyaknya anak yang datang ke rumah. Seorang keponakan Een yang sering mengerjakan PR di rumahnya, mulai mengajak teman-temannya untuk belajar bersama.
“Dia datang kalau ada PR. Di sekolah ia suka mengatakan kalau PRnya sudah selesai dikerjakan di rumah teh Een. Kemudian beberapa temannya ingin ikut mengerjakan PR di sini.
Keinginan dirinya untuk berbagi ilmu pun dimulai. Dengan fasilitas seadanya, Een membimbing anak-anak itu mengerjakan tugas dan PR dari sekolah. Saat itu belum ada papan tulis kapur, apalagi white board.


Anak-anak biasa menggunakan dinding kamar Een sebagai pengganti papan tulis. Berbagai sisi dinding kamar pun penuh dengan coretan dan tulisan anak-anak. Setiap selesai menulis, dinding kemudian dibersihkan dengan lap basah. Begitu seterusnya hingga cat dindingnya habis dan tidak bisa ditulisi lagi. “Sudah habis di dinding, lalu pindah ke bupet (lemari kayu),” kenang Een sambil tertawa.
Seorang tetangga lalu menawarkan memberi papan tulis. Setiap selesai belajar, papan tulis itu dicuci dan dijemur untuk belajar hari berikutnya. Semua dilakukan oleh anak-anak. Tidak lama kemudian Bupati datang menjenguk lalu lalu memberi bantuan papan tulis. Selain itu, ia juga mendapat bantuan kamus dan buku-buku dari Jamsostek. 
Kehadiran anak-anak seolah menjadi episode baru dalam hidupnya. Keceriaan anak-anak menjadi penghibur baginya. Anak-anak yang datang awalnya hanya dari lingkungan sekitar RT yang bersekolah dekat tempat tinggalnya. Kemudian datang anak-anak dari lokasi tempat tinggal dan sekolah yang lebih jauh. 
 “Setiap hari dikunjungi anak-anak, waktu jadi tidak terasa. Anak-anak jadi penghibur. Pernah saat saya sakit dada dan sakit menarik nafas, datang anak-anak mau belajar. Tapi saya tidak bilang kalau saya sakit. Setelah itu justru sakitnya hilang,” tuturnya.
Een menyadari perkembangan pendidikan yang berlangsung selama ini. Jika ada soal atau materi pelajaran yang kurang dikuasai, Een juga tidak segan bertanya pada teman-temannya yang sudah menjadi guru ataupun dosen. Ia biasa bertanya lewat sms atau telfon.
Salah satu teman yang dijadikan tempat bertanya adalah Prof. Dr. H. Dasim Budimansyah, yang kini adalah guru besar di UPI Bandung. Prof. Dasim merupakan kawan Een ketika di SPG dan IKIP.   
Beban materi pelajaran sekolah yang semakin banyak dan berat. Karena itu ia juga berusaha untuk memperbaharui pengetahuannya. Sesekali ia meminta bantuan pada teman atau kerabatnya untuk dicarikan buku, maupun dibelikan surat kabar. Berhubung Een tidak bisa memegang sendiri buku-buku atau koran, ia selalu minta dibacakan oleh anak-anak atau kerabatnya.
Een tidak pernah kehilangan akal dalam mengatasi keterbatasan fisiknya. Meski ia mengaku kesulitan untuk menyampaikan sesuatu yang harus dijelaskan dengan gambar, tulisan atau gerakan. Karena itu, dalam mengajar kadang ia dibantu oleh kerabatnya yang tinggal di dekat rumah.
Pernah suatu saat ada anak yang sedang belajar menulis. Anak itu bertanya, huruf L besar seperti apa. Karena Een tidak bisa menuliskan di papan tulis, maka ia menjelaskan bentuk huruf itu dengan kata-kata. Namun, si anak ternyata salah tangkap sehingga menimbulkan kelucuan. “Saya menjelaskan, tapi anak menangkapnya beda. Jadi nggak nyambung,”  tutur Een sambil tertawa. 
Jumlah anak yang belajar bersama Een kini sudah sekitar 30 orang, baik SD maupun SMP. Rata-rata mereka kebetulan berprestasi baik di sekolah. Ada yang juara kelas serta 10 besar di sekolahnya. Di antara mereka juga banyak yang mengikuti berbagai lomba bidang studi mulai dari tingkat kecamatan hingga kabupaten. 
Kebahagiaan baginya, setiap kali mendengar anak-anak yang belajar bersamanya meraih prestasi. “Dari sejak anak bisa menjawab ulangan harian dengan baik, saya sudah alhamdulillah. Ada kepuasan tersendiri rasanya. Meskipun ini bukan hanya hasil kerja saya saja,” tutur Een dengan rendah hati.
Mengajar anak-anak juga menjadi tantangan tersendiri baginya. Di samping harus mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar materi pelajaran sekolah. Juga harus mampu menjelaskan dan menjawab pertanyaan kritis yang terlontar dari anak-anak, terutama yang mulai remaja. 
Menurut Een kecerdasan intelektual harus diimbangi dengan kecerdasan emosi dan spiritual. Ia sering kali menyelipkan pendidikan budi pekerti dan akhlak pada anak. Karena baginya, semua yang dilakukan adalah bagian dari ibadah. 
Sumber : http://cangkirparagraf.blogspot.com

0 komentar:

Posting Komentar