Komik Jepang
Jika Anda mendengar kata ‘komik’, tentu Anda akan mengaitkannya
dengan Negara Jepang. Memang Jepang adalah salah satu Negara yang sukses
dalam memproduksi Komik. Kreatifitas menulis diantara para pengarang
komik seakan tidak pernah mati. Bahkan komik Jepang sudah merambah ke
belahan dunia lainnya seperti juga di Indonesia. Di Indonesia komik
Jepang sering menjadi perburuan, terutama untuk komik berseri. Dan kita
akan bertanya-tanya, bagaimana bisa ya masyarakat Jepang bisa aktif
dalam menulis ? dan untuk mengetahu jawabanya kita perlu mempelajari
lagi bagaimana kebiasaan orang-orang Jepang dalam kesehariannya.
Sifat Dasar Orang Jepang yang Pantang Menyerah
Sifat dasar orang Jepang memang tekun dan pekerja keras. Selain itu
rata-rata dari mereka mempunyai keinginan untuk selalu belajar dan
selalu memperbaiki hasil kerja mereka. Mungkin sifat-sifat dasar ini
menjadi salah satu pendukung kehebatan masyarakat Jepang dalam membangun
negaranya. Keinginan untuk selalu belajar ini tercermin pada tingginya
budaya baca dan tulis masyarakat Jepang.
Jepang bukan bangsa penemu, tapi orang Jepang mempunyai kelebihan
dalam meracik temuan orang dan kemudian memasarkannya dalam bentuk yang
diminati oleh masyarakat. Sejarah membuktikan Jepang termasuk bangsa
yang tahan banting dan pantang menyerah. Puluhan tahun di bawah
kekaisaran Tokugawa yang menutup semua akses ke luar negeri, Jepang
sangat tertinggal dalam teknologi. Ketika restorasi Meiji (meiji ishin)
datang, bangsa Jepang cepat beradaptasi dan menjadi fastlearner.
Kemiskinan sumber daya alam juga tidak membuat Jepang menyerah. Tidak
hanya menjadi pengimpor minyak bumi, batubara, biji besi dan kayu,
bahkan 85 persen sumber energi Jepang berasal dari negara lain termasuk
Indonesia..
Rentetan bencana pun pernah melanda Jepang seperti yang terjadi di
tahun 1945, dimulai dari bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, disusul
dengan kalah perangnya Jepang dan ditambahi dengan adanya gempa bumi
besar di Tokyo atupun Tsunami yang sering menghampiri Jepang. Ternyata
Jepang tidak habis bahkan tetap terus bangkit menjadi salah satu Negara
yang maju. Dalam beberapa tahun berikutnya Jepang sudah berhasil
membangun industri otomotif dan bahkan juga kereta cepat (shinkansen).
Mungkin Anda akan dibuat takjub dengan kisah bagaimana Matsushita
Konosuke yang usahanya hancur dan hampir tersingkir dari bisnis
peralatan elektronik di tahun 1945 masih mampu merangkak, mulai dari nol
untuk membangun industri sehingga menjadi kerajaan bisnis di era
kekinian. Yang juga cukup unik bahwa ilmu dan teori dimana orang harus
belajar dari kegagalan ini mulai diformulasikan di Jepang dengan nama
shippaigaku (ilmu kegagalan). Jadi semangat pantang menyerah yang sudah
mendarah daging di dalam diri orang Jepang merupakan inti dari
kesuksesan hidup mereka.
Budaya Membaca di Kalangan Orang Jepang
Rata-rata orang Jepang memang gemar membaca, atau paling tidak gemar
mencari informasi -yang tampak remeh sekalipun- dari orang lain. Bahkan
banyak para artis yang mempunyai hobi membaca.
Berdasarkan pengamatan Romi Satria Wahono yang pernah 10 tahun
tinggal di sana menggambarkan bahwa sebagian besar penumpang densha
(kereta listrik), baik anak-anak maupun dewasa sedang asyik membaca
buku atau Koran.
Tidak peduli duduk atau berdiri, banyak yang memanfaatkan waktu di densha untuk membaca. Pun di ceritakan bahwa banyak penerbit yang mulai membuat manga (komik bergambar) untuk materi-materi kurikulum sekolah baik SD, SMP maupun SMA.
Pelajaran Sejarah, Biologi, Bahasa, dan sebagainya disajikan dengan menarik yang membuat minat baca masyarakat semakin tinggi.
Budaya baca orang Jepang juga didukung oleh kecepatan dalam proses
penerjemahan buku-buku asing (bahasa inggris, perancis, jerman, dsb).
Konon kabarnya legenda penerjemahan buku-buku asing sudah dimulai pada
tahun 1684, seiring dibangunnya institut penerjemahan dan terus
berkembang sampai jaman modern. Biasanya terjemahan buku bahasa Jepang
sudah tersedia dalam beberapa minggu sejak buku asingnya diterbitkan.
Tak heran pemerintah Jepang juga mengambil kebijakan tersendiri guna
meningkatkan taraf pendidikan masyarakat Jepang dengan menciptakan
kebijakan publik khusus untuk memotivasi masyarakat Jepang kembali ke
sekolah (Kikosushijo) pada tahun 1962.
Keberanian untuk membuat prioritas kebijakan publik pada sektor pendidikan adalah suatu syarat mutlak atau tidak bisa tidak (conditio sine qua non). Kebijakan ini mendorong pemerintah Jepang dari pusat sampai ke daerah-daerah untuk antara lain menyediakan secara gratis buku-buku bacaan, membeli lahan untuk pembangunan sekolah dengan sistem pendidikan bermutu, tak ketinggalan mengirim guru-guru untuk bersekolah di luar negeri pada berbagai universitas ternama.
Akhirnya Sejarah pun mencatat bahwa keunggulan manusia Jepang, yang
ditandai lejitan ke peringkat-peringkat atas persaingan global, dicapai
melalui kerja keras. Visi Jepang cerah
juga melalui pelembagaan budaya
baca.
Budaya ini dibangun lewat kebijakan penyadaran pentingnya membaca. Ia
sengaja direncanakan, ditanamkan, ditumbuhkan dan dikembangkan secara
serius dan berlanjut. Kesadaran membaca dituntun melalui disiplin
tingkat tinggi. Budaya baca memang menggelora ke seluruh lini kehidupan
bermasyarakat Jepang. Ia diterima dan dipertahankan karena meyakinkan
secara logis sebagai obor penerang masa depan.
Benar-benar mengagumkan bukan?.
Berdasarkan pengamatan Romi Satria
Wahono, kini, membaca dan selalu membaca telah menjadi pemandangan umum.
Budaya baca ini terlihat tidak hanya pada jam-jam belajar. Bukan saja
ketika berada di sekolah-sekolah atau kampus-kampus. Ia merupakan
kebudayaan yang hidup dan menghidupkan ketika sedang berada di bus,
kereta api, taman-taman kota, tempat-tempat rekreasi, tidak terkecuali
sambil menunggu pesanan makanan di kafe atau restoran.
Toko Buku Ala Jepang
Bila kita ke toko buku, terlihat pada pinggir-pinggir tembok sengaja
disediakan meja dan kursi bagi pembaca, demikian ungkap Romi Satria
Wahono . Bahkan sering terlihat banyak orang lanjut usia sedang asyik
membaca, tak mau kalah, pantang mundur berpandu kaca pembesar huruf.
Hebat pula bahwa pelayan toko buku sama sekali tidak terlihat melarang,
kalau ada siswa atau mahasiswa yang sengaja mengerjakan tugas atau
pekerjaan rumah di sana. Tentu saja ada aturannya, membaca dengan tenang
dan menjaga kebersihan serta keutuhan bahan bacaan.
Menurut data dari bunkanews (situs khusus tentang media massa
berbahasa Jepang), jumlah toko buku di Jepang adalah sama dengan jumlah
toko buku di Amerika Serikat. Amerika Serikat adalah dua puluh enam kali
lebih luas dan berpenduduk dua kali lebih banyak daripada Jepang.
Karena itu, data ini menunjukkan bahwa toko buku sangat banyak di
Jepang, mudah dijangkau, dan berada sangat dekat dengan masyarakat
Jepang. Sebuah kelebihan yang membuat bahagia para konsumen buku dan
penerbit tentunya. Juga menunjukkan tingginya apresiasi masyarakat
terhadap budaya membaca.
Toko buku yang ada tak melulu toko buku baru. Masih menurut
bunkanews, toko buku bekas atau toko buku tua menempati presentase
sepertiga jumlah toko buku. Artinya, jumlah toko buku bekas adalah
separuh jumlah toko buku baru. Keberadaan toko buku bekas ini sangat
menolong konsumen buku, karena mereka bisa mendapatkan buku yang mereka
inginkan dengan harga yang jauh lebih murah dan terjangkau. Bahkan
terkadang, kita bisa mendapatkan buku-buku tua yang sangat bernilai
namun sudah tak lagi diterbitkan. Toko-toko buku ini berani untuk buka
sampai larut malam, lebih malam dari departemen store maupun
supermarket. Mengapa demikian? Karena kaki para konsumen buku terus
mengalir sampai malam. Banyak di antara mereka yang datang hanya untuk
sekedar "tachi yomi" (artinya membaca sambil berdiri di toko buku tanpa
membeli) melepas kebosanan di malam hari.
Tachiyomi sekilas tampaknya
hanya merusak pemandangan toko. Namun ternyata oplag penjualan
berbanding lurus dengan jumlah orang yang tachiyomi. Artinya, ada
kencenderungan sehabis tachiyomi orang tergerak untuk membeli bacaan
lainnya.
Kecenderungan orang Jepang pada aktivitas membaca dimanfaatkan oleh
para penerbit sebagai ajang promosi buku-buku mereka di televisi.Di
salah satu televisi swasta ada acara yang disebut acara "toko buku
Sekiguchi".Dalam acara ini para artis atau pelawak mempresentasikan
referensi suatu buku, sedangkan artis lain yang hadir diminta untuk
membeli berdasarkan kesan mereka terhadap presentasi tersebut dari kocek
mereka sendiri. Acara ini sangat membantu bagi penggemar buku yang
sibuk dan tak sempat berlama-lama di toko buku. Penonton bisa melihat
referensi yang divisualisasikan dalam layar TV dan memesan lewat
internet atau telpon jika tertarik untuk membeli. Mirip sebuah "televisi
shopping", namun yang dipromosikan adalah buku.
Ketika kita masuk ke sebuah toko buku, biasanya ada beberapa hal khas
yang kita jumpai. Pertama, biasanya buku-buku bacaan di Jepang, seperti
novel, kumpulan essai, ataupun ilmiah populer didesain dalam ukuran
kecil, ringan, dan mudah dibawa kemana-mana. Sehingga kita tidak enggan
membawa buku tersebut baik ketika dalam perjalanan ke kantor ataupun
berbelanja. Orang yang membaca buku (tentu juga komik ataupun majalah)
akan sangat mudah kita temui di bis-bis kota ataupun di kereta-kereta
listrik. Kedua, kita akan susah mendapatkan buku-buku berbahasa Inggris
di toko-toko buku Jepang pada umumnya. Ini karena, para penerbit Jepang
sangat memperhatikan penerjemahan buku-buku hasil karya penulis dari
negara-negara lain.
Bahkan banyak kasus buku best seller yang
diterbitkan di negara lain diterbitkan pula terjemahannya di Jepang
dalam waktu yang hampir berbarengan, seperti buku Harry Potter yang
ngetop di Amerika itu. Ini tentu saja karunia bagi masyarakat Jepang
khususnya para penggemar buku. Mereka bisa menikmati hasil karya
penulis-penulis beken negara lain dalam bahasa mereka sendiri. Suatu
karunia yang kita pikir hanya dipunyai oleh negara-negara berbahasa
Inggris, seperti Amerika atau sebagian negara Eropa. Hanya toko-toko
besar tertentu (dan biasanya di daerah perkotaan) yang menyediakan
buku-buku impor berbahasa Inggris dan bukan terjemahannya.
Ke Perpustakaan Untuk Membaca
Selain toko buku, perpustakan pun sangat mudah kita temui di sekitar
kita. Di daerah pedesaan, biasanya, perpustakaan ini dikelola oleh
pemerintah daerah setingkat kecamatan di Indonesia. Keberadaannya mudah
dijangkau oleh masyarakat pedesaan. Sebab itu, meskipun di pedesaan,
buku bukanlah barang mahal yang sulit di dapat.
Pada perpustakaan-perpustakaan, petugas keamanan terlihat senantiasa berdiri atau berkeliling, walau jarang tampak pengunjung perpustakaan yang menimbulkan kebisingan. Mereka tidak akan segan-segan menegur tegas, bila terdengar atau kelihatan ada pengunjung yang terlalu lama berbisik ria. Iya, walau hanya berbisik, bukan bersuara keras, tidak diperbolehkan. Perilaku ini dianggap mengganggu orang lain yang sedang membaca dan menciderai misi perpustakaan. Semacam 'delik penodaan' dalam sakralitas dan martabat masyarakat baca nan terdidik.
Pada perpustakaan-perpustakaan, petugas keamanan terlihat senantiasa berdiri atau berkeliling, walau jarang tampak pengunjung perpustakaan yang menimbulkan kebisingan. Mereka tidak akan segan-segan menegur tegas, bila terdengar atau kelihatan ada pengunjung yang terlalu lama berbisik ria. Iya, walau hanya berbisik, bukan bersuara keras, tidak diperbolehkan. Perilaku ini dianggap mengganggu orang lain yang sedang membaca dan menciderai misi perpustakaan. Semacam 'delik penodaan' dalam sakralitas dan martabat masyarakat baca nan terdidik.
Sumber:
http://www.bimba-aiueo.com
2 komentar:
How a nice article..
Bagus mbak, ini nih yang harus kita contoh dan budayakan juga di Indonesia.
Kebetulan dari dulu saya juga suka baca, eh waktu melihat langsung kebiasaan baca orang Jepang di negaranya rasanya tambah kagum :'')
Reading is one of the best hobby and habit
Posting Komentar